MAMANDA
( Seni Teater Tradisional Kalimantan
Selatan )
A.
Sejarah terbentuknya Mamanda
Mamanda
adalah kesenian tradisional Kalimantan Selatan yang berbetuk drama atau
teater dengan ciri khasnya yaitu
bernyanyi sambil menari yang dilakukan oleh pemeran baladon dan pemeran raja.
Teater tradisional Kalimantan Selatan ini tercatat dalam sejarahnya lahir pada
abad ke 19 yang terinspirasi dari rombongan kesenian Abdoel Moeloek dari
Malaka ( yang dikenal komedi Indra Bangsawan
) pimpinan Encik Iberahim bin Wangsa dan istrinya Encik Hawa yang datang di
Banjarmasin selama kurang lebih sepuluh bulan. Dalam tempo yang singkat, tehnik
tonil dari Abdoel Moeloek ini sangat cepat mempengaruhi kesenian di Kalimantan
Selatan dalam bidang suara dan tari.
Adalah
Anggah Putih dan Anggah Datu Hirang pada akhir abad ke 19 telah mempelopori
cikal bakal Mamanda yang pada waktu itu diberi nama Ba Abdul Muluk atau
Badamuluk ( seni teater baru ). Kesenian ini dipengaruhi oleh komedi Indra
Bangsawan. Nama kesenian ini berasal dari sebual judul cerita yang
dipergelarkan berdasarkan teknik tonil
yaitu cerita Abdoel Moeloek karangan Saleha
saudara dari sepupu Raja Ali Haji. Syair ini sangat popular di kalangan
masyarakat Margasari ( tapin ) jauh sebelum tahun 1900 san, karena buku syair
itu bertuliskan Arab Melayu Johor dan digunakan masyarakat untuk bersyair.
Selain
cerita Abdoel Moeloek sering pula dipergelarkan cerita dari syair-syair yang
lainnya, misalnya: Siti Jubaedah atau
Hikayat-hikayat lama seperti Si miskin atau Marakarma, Hikayat Cindera Hasan (
abu Hasan ), dan Hikayat-hikayat seribu satu malam ( 1001 malam ).
Cikal
bakal kesenian mamanda ( Ba Abdul Muluk ) ini oleh Datu Irang dan Anggah Putuh
berkembang dari kampung Pasar Margasari ( sekarang pasar lama, kabupaten Tapin
) ke Pariok ( Margasari hilir ),Pabaungan Marampiau, dan bahkan sampai ke
seluruh Hulu Sungai, dikarenakan kebanyakan orang-orang Pariok ini suka
merantau untuk berdagang, maka melaui orang-orang inilah kesenian ini tersebar ke luar daerah.
Akibatnya Ba Abdul Muluk ini populer dengan sebutan MAMANDA PARIOK.
Bagaimana
proses nama kata Mamanda menjadi sebuah nama kesenian yang sebelumnya bernama
Ba Abdul Muluk? Ditinjau dari segi etimologis kata Mamanda berasal dari kata
MAMA di tambah NDA, MAMA berarti Paman (
dalam buku-buku lama seperti dalam Tutur Candi
atau dalam buku Hikayat Banjar ) pada saat berbicara dengan kata dasar
mama. Jadi Mamanda adalah sebutan atau panggilan waktu Sultan berbicara dengan
Mama Mangku Bumi ( Staf kerajaan ) atau Mama Wajir
( penasehat raja ), misalkan perkataan seorang raja kepada Mangku Bumi atau
Wajir seperti berikut: “ Benar atau
sebagaimana Mamanda Mangku Bumi dan Mamanda Wajir “?. Mungkin karena seorang
raja atau sultan ( tokoh sentral dalam teater mamanda ) menjadi tiruan oleh para
penonton, maka kata Mamanda itu selalu menjadi tiruan para penonton. Sehingga
kata-kata mamanda diberikan sebagai simbul atau lambing terhadap kesenian yang
pada awal perkembangan kesenian ini bernama Abdul Muluk atau Ba Abdul Muluk.
Kemudian
kesenian Mamanda ini dalam perkembangannya tidak hanya dipergelarkan di
Margasari saja, tetapi tersebar ke daerah seluruh Hulu Sungai ( daerah di bagian timur laut Kalimantan
Selatan ) dan Banjarmasin.
Pada
tahun 1937, di kampung Tubau ( kabupaten Hulu Sungai Tengah ) telah muncul
kesenian Mamanda yang sedikit berbeda dengan Mamanda asalnya ( Mamanda Pariok
), yaitu pertama: tidak lagi
mengangkat cerita-cerita dalam syair atau hikayat, dalam lakon ceritanya mereka
mengarang sendiri sesuai dengan kehidupan di masa itu, seperti cerita
percintaan yang terjadi di istana, cerita pemberontakan dan lain-lain. , kedua : tidak lagi mengutamakan
tarian atau nyanyian dalam Baladon, yaitu diganti dengan sambutan oleh pimpinan
rombongan atau diganti dengan cara lain yaitu dengan menggunakan tukang kisah.
Aliran ini kemudian terkenal dengan Mamanda Tubau.( yang pertunjukannya
kebanyakan di darat. Sedang Mamanda pariuk ( Margasari ) pertunjukannya
kebanyakan di daerah perairan atau sungai sehingga disebut Mamanda Batang Banyu.
Pada tahun 1935, dengan dipelopori
oleh generasi Mukeri dan kawan-kawan di kampung Bakuliling Pabaungan Margasari
( kabupaten Tapin ) memasukkan syair ke dalam lagu Mamanda. Syair ini dibawa
oleh seorang ulama Alabio yang telah
belajar di Makkah yang kembali pada tahu 1930 beliau banyak menghafal pepatah
serta syair Arab dari pujangga Timur Tengah, syair-syair Arab itulah yang mempengaruhi lagu-lagu Mamanda
yang telah berkembang dari pelosok perairan Kali Negara ( Kabupaten Hulu Sungai Selatan ) sampai
ke Pebaungan Margasari ( kabupaten Tapin ). Dan beberapa tahun kemudian lagu
ini meluas sampai ke Candi Laras, bahkan sampai ke seluruh Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Timur, sehingga dari sejarah lahirnya Mamanda mulai dari
lahirnya kesenian teater tradisional Mamanda, perkembangan, dan landasan teknis
pergelaran yang berlaku, bisa kita simpulkan bahwa MAMANDA lahir dan tumbuh dari Kalimantan Selatan.