Friday, April 24, 2020

TEATER TRADISIONAL KAIMANTAN SELATAN ( MAMANDA ) ( dari catatan : Workshop Teater Tradisional Kalimantan Selatan MAMANDA –Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 24 s.d 26 Oktober 2011 )

TEATER TRADISIONAL KAIMANTAN SELATAN ( MAMANDA )
( dari catatan : Workshop Teater Tradisional Kalimantan Selatan  MAMANDA –Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 24 s.d 26 Oktober 2011 )

A.    Sejarah Mamanda
    Mamanda adalah kesenian tradisional Kalimantan Selatan yang berbetuk drama atau teater  dengan ciri khasnya yaitu bernyanyi sambil menari yang dilakukan oleh pemeran baladon dan pemeran raja. Teater tradisional Kalimantan Selatan ini tercatat dalam sejarahnya lahir pada abad ke 19 yang terinspirasi dari rombongan kesenian Abdoel Moeloek dari Malaka  ( yang dikenal komedi Indra Bangsawan ) pimpinan Encik Iberahim bin Wangsa dan istrinya Encik Hawa yang datang di Banjarmasin selama kurang lebih sepuluh bulan. Dalam tempo yang singkat, tehnik tonil dari Abdoel Moeloek ini sangat cepat mempengaruhi kesenian di Kalimantan Selatan dalam bidang suara dan tari.
    Adalah Anggah Putih dan Anggah Datu Hirang pada akhir abad ke 19 telah mempelopori cikal bakal Mamanda yang pada waktu itu diberi nama Ba Abdul Muluk atau Badamuluk ( seni teater baru ). Kesenian ini dipengaruhi oleh komedi Indra Bangsawan. Nama kesenian ini berasal dari sebual judul cerita yang dipergelarkan berdasarkan teknik tonil  yaitu cerita Abdoel Moeloek karangan Saleha saudara dari sepupu Raja Ali Haji. Syair ini sangat popular di kalangan masyarakat Margasari ( tapin ) jauh sebelum tahun 1900 san, karena buku syair itu bertuliskan Arab Melayu Johor dan digunakan masyarakat untuk bersyair.
    Selain cerita Abdoel Moeloek sering pula dipergelarkan cerita dari syair-syair yang lainnya, misalnya: Siti Jubaedah atau Hikayat-hikayat lama seperti Si miskin atau Marakarma, Hikayat Cindera Hasan ( abu Hasan ), dan Hikayat-hikayat seribu satu malam ( 1001 malam ).
    Cikal bakal kesenian mamanda ( Ba Abdul Muluk ) ini oleh Datu Irang dan Anggah Putuh berkembang dari kampung Pasar Margasari ( sekarang pasar lama, kabupaten Tapin ) ke Pariok ( Margasari hilir ),Pabaungan Marampiau, dan bahkan sampai ke seluruh Hulu Sungai, dikarenakan kebanyakan orang-orang Pariok ini suka merantau untuk berdagang, maka melaui orang-orang inilah  kesenian ini tersebar ke luar daerah. Akibatnya Ba Abdul Muluk ini populer dengan sebutan MAMANDA PARIOK.
    Bagaimana proses nama kata Mamanda menjadi sebuah nama kesenian yang sebelumnya bernama Ba Abdul Muluk? Ditinjau dari segi etimologis kata Mamanda berasal dari kata MAMA di tambah NDA, MAMA berarti Paman ( dalam buku-buku lama seperti dalam Tutur Candi  atau dalam buku Hikayat Banjar ) pada saat berbicara dengan kata dasar mama. Jadi Mamanda adalah sebutan atau panggilan waktu Sultan berbicara dengan Mama Mangku Bumi ( Staf kerajaan )  atau Mama Wajir ( penasehat raja ), misalkan perkataan seorang raja kepada Mangku Bumi atau Wajir seperti berikut: “  Benar atau sebagaimana Mamanda Mangku Bumi dan Mamanda Wajir “?. Mungkin karena seorang raja atau sultan ( tokoh sentral dalam teater mamanda ) menjadi tiruan oleh para penonton, maka kata Mamanda itu  selalu menjadi tiruan para penonton. Sehingga kata-kata mamanda diberikan sebagai simbul atau lambing terhadap kesenian yang pada awal perkembangan kesenian ini bernama Abdul Muluk atau Ba Abdul Muluk.
    Kemudian kesenian Mamanda ini dalam perkembangannya tidak hanya dipergelarkan di Margasari saja, tetapi tersebar ke daerah seluruh Hulu Sungai       ( daerah di bagian timur laut Kalimantan Selatan ) dan Banjarmasin.
    Pada tahun 1937, di kampung Tubau ( kabupaten Hulu Sungai Tengah ) telah muncul kesenian Mamanda yang sedikit berbeda dengan Mamanda asalnya ( Mamanda Pariok ), yaitu  pertama: tidak lagi mengangkat cerita-cerita dalam syair atau hikayat, dalam lakon ceritanya mereka mengarang sendiri sesuai dengan kehidupan di masa itu, seperti cerita percintaan yang terjadi di istana, cerita pemberontakan dan lain-lain. ,  kedua : tidak lagi mengutamakan tarian atau nyanyian dalam Baladon, yaitu diganti dengan sambutan oleh pimpinan rombongan atau diganti dengan cara lain yaitu dengan menggunakan tukang kisah. Aliran ini kemudian terkenal dengan Mamanda Tubau.( yang pertunjukannya kebanyakan di darat. Sedang Mamanda pariuk ( Margasari ) pertunjukannya kebanyakan di daerah perairan atau sungai sehingga disebut Mamanda Batang Banyu.
    Pada tahun 1935, dengan dipelopori oleh generasi Mukeri dan kawan-kawan di kampung Bakuliling Pabaungan Margasari ( kabupaten Tapin ) memasukkan syair ke dalam lagu Mamanda. Syair ini dibawa oleh seorang ulama  Alabio yang telah belajar di Makkah yang kembali pada tahu 1930 beliau banyak menghafal pepatah serta syair Arab dari pujangga Timur Tengah, syair-syair Arab  itulah yang mempengaruhi lagu-lagu Mamanda yang telah berkembang dari pelosok perairan Kali  Negara ( Kabupaten Hulu Sungai Selatan ) sampai ke Pebaungan Margasari ( kabupaten Tapin ). Dan beberapa tahun kemudian lagu ini meluas sampai ke Candi Laras, bahkan sampai ke seluruh Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, sehingga dari sejarah lahirnya Mamanda mulai dari lahirnya kesenian teater tradisional Mamanda, perkembangan, dan landasan teknis pergelaran yang berlaku, bisa kita simpulkan bahwa MAMANDA lahir dan tumbuh dari Kalimantan Selatan.
B.    Tinjauan struktur cerita Mamanda Pariuk dan Mamanda Tubau
Struktur cerita Mamanda baik dari aliran Pariok maupun Mamanda Tubau selalu selalu mengambil cerita atau kisah tentang kerajaan dengan Raja atau Sultan sebagai tokoh sentral. Adapun perbedaan struktur cerita  mamanda Pariuk dan Mamanda Tubau antara lain :
1.    Mamanda Pariok
a.    Babak pertama, dua, dan tiga dan seterusnya merupakan sidang kerajaan melepaskan anak-anak raja-raja “ kurang satu empat puluh “.
b.    Acara memuja kerajaan berlangsung pula, dengan format tari lagu “dua”.
c.    Babak terakhir merupakan klimaks ke ending, adalah “ babujukan “, yakni membujuk puteri yang disayembarakan oleh kerajaan Barbari       ( dalam syair Abdul Muluk ).
d.    Tiap peserta sayembara membujuk puteri dengan tarian dan lagu yang berbasis sama dengan kreatifitas dan spontanitas yang berbeda, waktupun habis karena waktu subuh sudah datang.
e.    Dalam babujukan ini, nampak keunikan, lugu, dan humor bermunculan, sehingga terjadi komunikasi dengan penonton.

2.    Mamanda Tubau
a.    pada mamanda Tubau terjalin dalam plot, tokoh, dan latar kerajaan dongeng, folk lore, dan adaptasi dongeng.
b.    Tokoh perampok ( komplotan ), raja jin, saudagar yang terdapat dalam tradisi lisan dengan primadona “ anak muda “ dan “ puteri cantik “ terdapat dalam konflik internal atau  eksternal.
c.    Dalam konflik fisik, seperti adu pedang seperti drama Dardaneilla, merupakan adegan yang diperkenalkan kepada penonton.
d.    Musik / orkes melayu pada tahun 1950 an merebak di mana-mana dan terlibat dalam kelompok kesenian mamanda Tubau dan cerita film melayu, novel-novel juga dimainkan

C.    Perkembangan Mamanda pada tahun 1960 an.
    Di Margasari, dengan dipelopori oleh asmuni dan kawan-kawan memainkan mamanda Periuk dengan cerita  “Andung Basimbar”, “ Kambar Kamanikan” , adegan babujukan sebagai suatu idola masyarakat kabupaten Tapin, kadang-kadang hilang, kadang-kadang ada.

    Di daerah Gambah Dalam, Kandangan ( kabupaten Hulu Sungai Selatan ), dengan kepeloporan Kayubawang memainkan mamanda Tubau dengan cerita istana sentries ciptaan tukang Kisah.

    Di Banjarbaru, dipelopori M. Saperi Kadir dan kawan-kawan dengan  grup mamanda “Satmacandra”, tetap memainkan istana sentries dengan tidak mempermasalahkan apakah dengan versi Batang Banyu atau Tubau.

    Di Kandangan ( kabupaten Hulu Sungai Selatan ) grup mamanda                      “ Sampuraga “,  tetap melestarikan mamanda dengan sruktur cerita “ dalam  istana centris “.

    Berdasarkan hasil riset yang dilakukan olrh grup Satmacandra di Margasari dan sekitanya, dan grup mamanda Teater Banjarmasin di Kandangan, serta hasil studi banding terhadap  Lenong Kerajaan dan Lemong Preman oleh Bachtiar Sanderta dan Nasrun Anwar, Mamanda ditinjau secara mendasar atau hal yang pokok adalah sebagai berikut:
1.    Cerita mamanda selalu cerita tentang kerajaan.
2.    Dalam cerita kerajaan mempunyai tokoh-tokoh kerajaan ( raja, aparat kerajaan dan keluarga istana ), dan tokoh lainnya yang disesuaikan dengan cerita.
3.    Tokoh dalam mamanda tradisi adalah : Raja, Permain Suri, Puteri, Anak Muda, Wazir, Mangku Bumi, Perdana Menteri, Kepala Pertanda ( panglima Perang, Harapan I dan Harapan II,  Khadam dan Inang, Terkadang ada pula tokoh lainya seperti : Raja Jin, Perampok ( begal ), dan orang-orang kampung ( tetapi hal ini tidak terlalu mendasar ).
4.    Struktur Permainan mamanda adalah sebagai berikut :
a.    Dibuka dengan Baladon oleh 1, 3, 5 orang yaitu membuka acara dengan menyanyi sambil menari dengan gaya khas yaitu gerak yang diambi dari burung yang terbang mendarat di sawah.
b.    Sidang kerajaan
c.    Alur cerita : babak demi babak dengan akhir cerita Happy Ending.
d.    Latar ditransfer menjadi setting dan dekoratif, berfungsi sebagai gambaran suasana, dan penonjolan. Setting ( property ) biasanya hanya satu meja saja, tetapi bisa bermakna atau berfungsi sebagai rumah, taman, tempat persidangan, hutan, atau lainnya ( bersifat absolute ). Tetapi ada yang menambah sebagai missal latar  berupa kain bermotif sulur dari manik-manik atau arguci, atau pintu masuk ( lawang sari ) menggunakan janur atau kain dengan motif khas Banjar.
e.     Hal pokok ( pakem ), atau karakteristik, atau tradisi gaya  pada teater mamanda adalah :
1)    Format tari dan lagu pada baladon.
2)    Format tari dan lagu pada ” lagu dua” yang dinyanyikan oleh raja pada saat sidang kerajaan.
3)    Format tari dan lagu Harapan ( pengawal ).
4)    Format stilisasi dan lagu terima kasih ( lagu dinyanyikan setelah pertunjukan berakhir ).
5)    Gaya laku aparat kerajaan ( acting; karakter peran tokoh ), stilisasinya berbasis ladon ( baladon ).
6)    Gaya laku seorang puteri, stilisasi berbasis tari Gandut ( tarian pergaulan sejenis tari Gambyong )
7)    Gaya laku jin, perampok / begal, stilisasi berimajinasi seperti orang urakan, jagoan.
8)    Bahasa yang dipakai adalah bahasa melayu Banjar, dan sastra lisan, kata-kata “ Beta “ ( saya ) hanya berlaku untuk seorang raja atau sultan.
9)    Musik adalah music tradisional banjar yang terdiri dari biola, babun ( kendang ), Agung  ( gong ), atau alat music lainnya yang bersifat dramatic.
10)    Busana mamanda secara mendasar adalah “ baju raja bergirap “ ( memantulkan cahaya; sulaman dari bahan yang mengkilat namanya arguci ), dengan laung ( tutup kepala ) dan slendang tapih .
11)    Rias tokoh mamanda disesuaikan dengan peran.
    Grup Satmacandra telah melakukan “pengemasan mamanda “ yaitu dengan memperhatikan cirri esensialnya ( pakemnya ), dan dilestarikan dan dikembangkan oleh grup-grup mamanda setelahnya, seperti teater Banjarmasin,teater Banua Idaman, dan lain-lain.
    Pada tahun 1977, melalui bidang kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Kalimantan Selatan, Mamanda diikut sertakan dalam festival teater tradisional se Indonesia di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Sehingga ketika itu mamanda dikatakan sudah bisa sejajar dengan Arje, Ketoprak, Randai, Mendu, dan kesenian tradisional lainya di Indonesia.
    Melalui rekaman audio ( kaset ), budayawan Anang Ardiansyah mencoba mempopulerkan mamanda dengan judul “Hamuk Hantarukung” karya seorang tokoh mamanda dan juga budayawan Kalimantan Selatan Bakhtiar Sanderta.
    Oleh Suryanto Madal, dengan gencarnya  merekrut mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat untuk menggeluti mamanda dengan obsesi : “ suatu saat nanti “  mamanda akan dimainkan / dimiliki oleh Sarjana.
    Sanggar seni tradisi Kalimantan Selatan “ teater Banjarmasin “ pada kepemimpinan : Bakhtiar Sanderta, Abdullah SP, Sirajul Huda H.M, M. Jaini Ayak , Muklis Maman, dan M. Thaha,  telah mampu membawa Mamanda melanglang Buana ke Malaka, Serawak, Riau, Tembilahan, Jambi,  Kuala Tungkal, Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Bali, Mataram, Makasar, Kalbar, Kaltim, Kalteng, dan tentu seluruh daerah Kalimantan Selatan.
    Pada tahun 2010, grup mamanda teater Banjarmasin dengan judul “ Merajut Asa Di Palinggam Cahaya naskah dan sutradara Drs. Sirajul Huda H.M setelah menjuarai festival teater tradisional regional Indonesia Timur di Samarinda, telah berhasil menjadi juara kedua pada festival teater tradisional se Indonesia di Malang.
    Sejak tahun 2008 Drs. Suharto dengan  Sanggar sekolahnya yaitu Sanggar Pahimungan SMA Negeri 4 Banjarabaru berusaha melestarikan Mamanda, dan pada tahun 2014 mendapat gelar pelestari Mamanda pada saat festval Mamanda di Kota Baru

Sumber  :
1.    Ungkapan beberapa bentuk kesenian, Direktorat Kesenian, Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta, Depdikbud.
2.    Risalah Mamanda, Teater Tradisi “ Drs. H. Bakhtiar Sanderta, Disbudpar Kalimantan Selatan.
3.    Catatan Prbadi, Abdi Kelana, Banjarmasin
4.    Workshop teater tradisional Kalimantan Selatan : Mamanda, bagi guru di lingkungan kota Banjarbaru oleh Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 24 – 26 Oktober 2011.

                                                                                          Banjarbaru, 7 April 2012
                                                                                          By: hartobalok
                                                                                   


                                                                                        


1 comment: